Misteri Peninggalan Situs Bersejarah Di Dataran Tinggi Dieng



Dataran tinggi Dieng merupakan kaldera yang dikelilingi pegunungan di sekitarnya. Gunung ini meliputi Gunung Sindoro, Gunung Prahu, Gunung Sikunir, Gunung Pakuwaja, Gunung Sipandu, Gunung Bisma, Gunung Sigepak, Gunung Pangonan, Gunung Midangan dan Gunung Rogojembangan.

Di Dieng terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara, sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah di Dieng yang masih aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang.

Secara administratif Dieng meliputi Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Kabupaten Wonosobo di bagian timur disebut Dieng Wetan. Sedangkan wilayah bagian barat di Kabupaten Banjarnegara disebut Dieng Kulon.

Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi.
Nama "Dihyang" berasal dari bahasa Jawa Kuno: di berarti "tempat" dan hyang berarti "leluhur", secara harfiah Dihyang bermakna "tempat para leluhur". Dihyang adalah daerah pegunungan, orang Jawa kuno percaya bahwa para leluhur dan dewa bersemayam di tempat ketinggian.(Central Java hand book,1983:53)

Sebuah prasasti mengungkapkan bahwa wilayah Dihyang oleh orang Jawa Kuno pada zamannya digunakan untuk pusat beribadah. Disebutkan dalam prasasti Gunung Wule tahun 861 Masehi, seseorang diperintahkan memelihara bangunan suci di daerah yang bernama Dihyang. Masyarakat pada umumnya menyebut daerah ini dengan sebutan populer "negeri di atas awan", karena wilayah tersebut dikelilingi awan atau kabut dari pegunungan.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng telah lama dikenal sebagai pusat temuan arkeologi; dengan ditemukannya sejumlah candi dan sisa-sisa bangunan kuno non-pemujaan (petirtaan dan lubang drainase) serta arca. Catatan Hindia-Belanda menyebutkan ada 400 candi/bangunan purbakala di Dieng, tetapi sekarang tinggal sembilan yang masih berdiri. Candi-candi di Dieng diberi nama sesuai dengan nama tokoh pewayangan Mahabharata dan berdasarkan perkiraan arkeolog, bangunan-bangunan kuno di Dieng dibangun di masa berkuasanya Kerajaan Kalingga, yaitu pada abad ke-7 dan ke-8 ( Coedès, George,1968). Ini menjadikan percandian Dieng sebagai bangunan tertua di Jawa yang masih berdiri (Tutup
(Romain, Julie,2019:299-315).



Candi-candi ini bercorak keagamaan Hindu dan tampaknya dibangun untuk pemujaan kepada Siwa dan hyang (leluhur yang didewakan setelah meninggal) (Michell, George, 1977:160,161)  Dalam konsep Hinduisme, kuil atau candi adalah miniatur gunung suci kosmis, meskipun Schoppert melihat motif desain bangunan sangat sedikit terkait dengan India(Schoppert, Peter 2012). Dalam tinjauannya yang diterbitkan tahun 2011, Romain mengemukakan pendapat bahwa gaya candi Dieng dapat dikaitkan dengan gaya Dravida dan Pallava dari India selatan (Romain, Julie 2011:299-315)Pada kondisi tahun 2020, hanya terdapat sembilan candi yang masih berdiri, sisanya tinggal reruntuhan, fondasi, atau tinggal nama. Batu-batu reruntuhan candi dipakai oleh warga untuk fondasi bangunan, jalan, atau pembatas pematang.

Bangunan candi di Dieng berada dalam kelompok-kelompok, namun hampir semuanya berada dalam kawasan lembah Dieng di sekitar pusat desa Dieng Kulon. Kelompok Arjuna adalah yang terbesar dan kondisinya paling baik, meskipun banyak arca yang telah dicuri maupun rusak. Sekarang menjadi objek wisata yang dikelola untuk kepentingan pendapatan daerah/instansi. Termasuk dalam kelompok ini adalah Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa; agak terpisah ke barat terdapat Candi Setyaki yang sudah dipugar sebagian. Kelompok Gatotkaca berada di tepi jalan penghubung utama ke arah Candi Bima. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Candi Gatotkaca, Candi Nakula, Candi Sadewa, dan Candi Gareng. Hanya candi Gatotkaca yang masih baik kondisinya. Kelompok Dwarawati berada di Dusun Krajan, Desa Dieng Kulon, di dekat salah satu jalur pendakian menuju Gunung Prahu. Hanya satu candi yang masih berdiri, yaitu Candi Dwarawati; candi-candi lainnya, seperti Candi Abyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari sudah menjadi reruntuhan. Candi Bima adalah candi tunggal, berada di sisi selatan kompleks Arjuna maupun Gatotkaca. Candi Parikesit (diperkirakan terletak di kaki Gunung Sipandu) hanya diketahui dari catatan arkeologi Hindia-Belanda, demikian pula Candi Prahu.



Dari sekian banyak bangunan non-candi, dapat disebutkan Gangsiran Aswatama, suatu saluran drainase kuno berupa lubang pembuangan air untuk menjaga agar kawasan percandian tidak tergenang air;( BPCB Jateng 20 Mei 2020),petirtaan Tuk Bimo Lukar, sebagai tempat peziarah untuk menyucikan diri sebelum melakukan puja di percandian; Ondho Budho (ditemukan kembali Desember 2019, di kaki Bukit Sipandu), suatu susunan batu menyerupai tangga;dan arca Ganesha tanpa kepala yang ditemukan akhir Desember 2019 di Desa Dieng Wetan, Kabupaten Wonosobo dan Di Tahun 2020 di temukan kembali Struktur bangunan yang tersusun dari batu andesit lokasinya berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur,Kabupaten Banjarnegara saat ini sedang di lakukan ekskavasi Tahap III.


Literatur:
Central Java hand book (edisi ke-2). Indonesia: Provincial Government of Central Java. 1983.

Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1.

Romain, Julie (2011), "Indian Architecture in the 'Sanskrit Cosmopolis': The Temples of the Dieng Plateau", dalam Manguin, Pierre-Yves; Mani; Wade, Geoff, Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 299–316, ISBN 9789814345101

Michell, George, (1977) The Hindu Temple: An Introduction to its Meaning and Forms". pp. 160-161. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-53230-1 /

Schoppert, Peter (2012), Java Style, Editions Didier Millet, ISBN 9789814260602

BPCB Jateng (20 Mei 2020). "Urutan Pembangunan Candi-Candi Di Dieng". Indonesiana: Platform Kebudayaan. Diakses tanggal 16 November 2020

Dan Miller, C.; et al. (1983). ERUPTIVE HISTORY OF THE DIENG MOUNTAINS REGION, CENTRAL JAVA, AND POTENTIAL HAZARDS FROM FUTURE ERUPTIONS USDI - Geological Survey. hlm. 1–20.

Drs. R. Soekmono (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 87.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama